gravatar

MODERNISASI TEKNOLOGI MILITER ALA SARIDIN



Oleh Nur Said MA
 
Nur Said adalah penulis  buku Saridin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (2012);  Pernah memperoleh penghargaan ‘Thesis Award’ dari Kemenag RI (2006); Alumni S1 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000); Program Pascasarjana Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM Yogyakarta (2003). Pernah sebagai peserta Program Sandwich-Like di Faculty of Education & Social Work, University of Sydney, Australia (2011). Disamping sebagai dosen, sekarang dipercaya sebagai Kepala Pusat Studi Budaya (PSB) STAIN Kudus. Email: nursaid@ymail.com


Bicara tentang militer akan selalu terkait dengan angkatan bersenjata dari suatu negara atau segala sesuatu yang berhubungan dengan angkatan bersenjata. Karena itu teknologi militer akan terkait dengan alat mempertahankan diri baik untuk pribadi atau kelompok sebuah bangsa. Apa hubungan kisah dan sejarah Saridin yang dikenal dengan Syeh Jangkung di pesisir Jawa atau tepatnya di Kayen, Pati, yang hidup pada periode Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dengan dunia militer? Tulisan singkat ini akan mencoba menelaahnya dalam perspektif budaya.
Kisah Saridin yang terkait dengan teknologi militer atau teknologi mempertahankan diri adalah apa yang dikenal dengan Lulang Kebo Landoh yang terkenal khasiatnya. Dalam sebuah cerita Saridin atau Syeh Jangkung setelah wafat, kebo/kerbaunya tak mempan untuk disembelih bahkan dengan senjata yang sangat tajam sekalipun.  Kejadian aneh itu membuat Momok (anak Saridin) memberikan senjata peninggalan Branjung (kakak Saridin) dimana Branjung mendapatkan senjata tersebut dari Ki Ageng Keringan, Bapaknya. Dengan senjata yang dikenal dengan Kiai Jangkung (ada yang menyebut Berganjing) tersebut akhirnya leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat (Nur Said, 2012).
Dari kisah Kebo Dungkul Landoh yang tahan senjata tajam tersebut, lalu sebagian masyarakat menarik hubungan paradigmatik bahwa lulang kebo landoh tersebut dianggap sebagai media mempertahankan diri dari segala ancaman dari luar.
Perlu dicatat lulang tersebut bukan sembarang lulangkerbau, tetapi kerbau yang mendapatkan pancaran kebaikan/kesalehan sosial Saridin atas kepeduliannya kepada lingkungan termasuk kepada tumbuhan-tumbuhan dan binatang kebo dungkul landoh. Berbagi kebaikan justru menjadi rahasia kemenangan diri dalam menghadapi ancaman dari manapun baik lahir maupun batin.
Hal ini selaras dengan diktum klasik Sun Tse dalam Seni Berperang yang menekankan kemenangan tanpa bertempur  (Sun Tse, 2001). Dengan kata lain kesalehan ekologis Saridin sebagaimana ketika berbagi kehidupan dengan kebo dungkul landoh telah memancarkan daya kekuatan yang dahsyat yang bersumber dari Sang Pencipta (lahaula wa lâ quwwata illâ billâhi al’aliyyil adzîm).
Hal ini tentu bisa dijadikan inspirasi bagi kalangan militer bahwa tugas menjaga keamanan dan pertahanan sebuah bangsa justru lebih mendesak  mengedepankan sisi sosial kemanusiaan daripada sekedar pendekatan militer belaka apalagi atas dasar dendam dan kebencian. Sebagaimana Saridin, kemuliaan dan kedigdayaannya sesunggungnya selaras dengan falsafah Jawa yakni sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kaya sekalipun tidak mempunyai harta, perkasa sekalipun tidak mempunyai aji-aji, maju bertempur walaupun tidak dengan bala bantuan, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan).
Maka yang perlu diteladani dari Saridin bukan justru menjadikan lulang landohsebagai aji-aji agar bisa tahan terhadap berbagai senjata yang cenderung magis, tetapi bagaimana menjadi jati diri yang mulia dan memiliki ketahanan lahir batin dengan memupuk kesalehan sosial dan kesalehan ekologis termasuk berbagi kebaikan dengan sesama manusia. Karena itu pendekatan kemanusiaan dan ekologis dalam dunia militer perlu dijadikan sebagai landasan dalam melakukan upaya modernisasi militer. Inilah yang disebut oleh Slattery (2005) sebagai era Post-militeristic, suatu pandangan yang berkeyakinan bahwa konflik dapat diselesaikan dengan seni negosiasi kedamaian daripada dengan mengangkat senjata atau menurut bahasa Sun Tse (2001) to win without fighting is best. Selamat berjuang, Bhayangkara.***